Hak Asasi Manusia Indonesia di bawah pandemi

Telah Terbit Pada 23 September, 2022 di Website FIHRM-AP

Tentang Penulis:Erpan Faryadi

Erpan Faryadi adalah manajer proyek Link-AR Borneo. Instansi dengan nama lengkap Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo ini adalah organisasi masyarakat yang bergerak untuk demokrasi, hak asasi manusia, sumber daya alam dan perubahan iklim di Kalimantan Barat, yang juga berinisiatif mengadvokasi tentang kedaulatan rakyat, aksi masyarakat, pendidikan dan penelitian.

Perkenalan Instansi: Link-AR Borneo

Link-AR Borneo dengan nama lengkap Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo adalah organisasi non-pemerintah yang didirikan pada tanggal 2 April 2009. Misi utama Link-AR Borneo adalah mengadakan advokasi dan mengatasi masalah serius seperti kontrol industri pertambangan atas sumber daya alam lahan, hutan, dsb. Industri pertambangan menguasai sumber daya alam untuk kepentingan politik dan ekonomi, di mana pertambangan yang menghasilkan bahan baku industri besar di dunia dijadikan sebagai prioritas utama. Borneo kaya akan sumber daya alam sehingga kondisi seperti ini menjadi situasi yang tidak terhindarkan.

Dengan demikian, Link-AR Borneo berdasarkan bukti yang ada, memulai aksi advokasi yang menunjukkan apa yang diyakini sebagai kepentingan masyarakat dan keadilan lingkungan berkelanjutan. Sejak pendiriannya, Link-AR Borneo selalu aktif dalam menegakkan dan membela hak asasi manusia, mendorong reformasi keadilan dalam pengelolaan kehutanan dan lahan yang berkelanjutan secara hukum, serta mendorong kemandirian masyarakat dalam hal pengelolaan hutan dan lahan.


Sekarang saatnya meninjau kembali kebijakan dan tanggapan pemerintah Indonesia terhadap pandemi Covid-19, dan bagaimana kebijakan dan tanggapan ini berdampak pada masyarakat, terutama dalam hal penerapan dan menghargai hak asasi manusia.

Sejak awal tahun 2020 (Januari hingga Maret), pemerintah Indonesia tidak pernah menganggap serius situasi wabah, mereka bahkan meremehkan dan tidak percaya akan keberadaan virus. Pada awal 2020, wakil presiden mengatakan bahwa hanya dengan adanya doa dari para pemuka agama, wabah Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia. Bahkan Presiden RI Joko Widodo juga membelokkan masyarakat di mana pada bulan Maret tahun 2020, beliau mengatakan, “Masyarakat Indonesia bisa menangkal virus corona dengan meminum jamu.” (Baca CNN Indonesia, 16 Maret 2020, “Media Asing Soroti Jokowi Minum Jamu Untuk Tangkal Corona”).

Strategi Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Covid-19

Pemerintah Indonesia dalam Pencegahan Wabah

Pada Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah Covid-19 sebagai darurat kesehatan masyarakat internasional. Semestinya, pemerintah Indonesia harus mulai mengambil langkah-langkah pencegahan wabah secara sistematis dan berkonsultasi dengan pakar medis, terutama pakar penyakit menular atau ahli epidemiologi untuk menghentikan penyebaran wabah di Indonesia. Namun, dalam menghadapi masalah yang berkaitan dengan kesehatan ini, pemerintah malah menutup telinga terhadap pendapat para pakar medis atau bahkan sering meremehkannya. Situasi pemerintah bertentangan dengan pendapat pakar medis juga kerap terjadi. Sementara mulai April 2020, pemerintah Indonesia mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan polri untuk memblokir rakyat di rumah mereka sendiri, membatasi kegiatan keagamaan dan ruang gerak, dan bahkan melarang kegiatan perkumpulan dan parade. Semua hal ini telah melanggar hak asasi manusia, terutama dalam hak sipil dan politik [1].

Sejak WHO mengumumkan bahwa Covid-19 memasuki fase pandemi global, pemerintah Indonesia memang telah memulai langkah-langkah pengendalian, tetapi tidak meluas ke seluruh negeri. Pakar kesehatan masyarakat menilai langkah-langkah pencegahan pandemi Jokowi terlalu lambat dan kurang efektif dalam menenangkan hati rakyat. (Baca BBC News Indonesia, 16 Maret 2020, “Virus corona: Jokowi umumkan langkah pengendalian Covid-19, tapi tanpa komando nasional.”)

Selain itu, pemerintah Indonesia juga suka mengumumkan kosakata dan kebijakan pencegahan epidemi baru pada setiap bulannya, dan upaya ini tidak banyak membantu dalam mengatasi penyebaran wabah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia kewalahan dalam menghadapi penyakit yang mematikan ini dan tidak memiliki kebijakan yang sistematis.

Pada Desember 2020, Menteri Sosial RI Juliari Batubara menerima suap dalam kasus dana paket Bantuan Sosial (Bansos). [2] Rakyat Indonesia berjuang melawan pandemi Covid-19, sementara pejabat pemerintah Indonesia malah terjerat skandal yang memalukan.

Jumlah kasus yang dikonfirmasi dan kematian akibat Covid-19 terus meningkat. Hal ini mempersulit tindakan pencegahan epidemi pemerintah Indonesia. Pemerintah seharusnya melindungi hak masyarakat atas kesehatan (yang juga merupakan hak asasi manusia), salah satunya adalah memastikan petugas medis yang berada di garis depan dalam perang melawan pandemi memiliki peralatan pelindung yang memadai. Tetapi dalam menghadapi amukan Covid-19, pemerintah Indonesia terkesan tidak banyak membantu, dan jumlah kasus terdiagnosis dan angka kematian terus meningkat sejak pertengahan Juni 2021.

Dampak Covid-19 bagi masyarakat Indonesia

Sejak April 2020, pemerintah Indonesia telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus rantai penularan virus corona. Namun, upaya ini gagal total dan tidak mencapai tujuan pencegahan epidemi WHO dalam hal mengekang penyebaran pandemi dan mengurangi jumlah kematian. Pada Juli 2021, wabah Covid-19 semakin memanas di Indonesia karena sikap pemerintah yang penuh kebimbangan antara kesehatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.

Dari tanggal 3 hingga 20 Juli 2021, pemerintah Indonesia menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Perkantoran (PPKM) untuk pulau Jawa dan Bali dengan harapan untuk menekan jumlah terkonfirmasi dan angka kematian. Sedangkan untuk semua daerah di luar pulau Jawa dan Bali, pemerintah menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Perkantoran Skala Mikro Darurat (PPKM Mikro Darurat). Namun, upaya-upaya ini tidak banyak membantu dalam pengendalian pandemi, dan jumlah kasus yang dikonfirmasi dan angka kematian akibat Covid-19 masih terus meningkat.

Peran LSM dalam pandemi Covid-19 di Indonesia

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia menjadi aktif setelah reformasi dan keterbukaan transparansi pemerintah Indonesia (pasca otoriter), di a ntaranya terdapat banyak organisasi yang aktif berfokus pada isu-isu seperti hak asasi manusia, perubahan iklim, perawatan kesehatan, reformasi hukum, kedaulatan pangan, reformasi lahan dan tanah, petani dan tenaga kerja. LSM Indonesia telah menarik banyak kalangan masyarakat maupun individu untuk bergabung dalam aksi dan inisiatif mereka, seperti dokter, pengacara, pakar pertanian, dll., sehingga LSM dapat terus berkembang dan terpercaya di bidangnya masing-masing. LSM Indonesia pada dasarnya telah memajukan proses pasca era otoriter Indonesia (setelah 1998) menuju demokrasi dan transparansi.

LSM Indonesia juga menaruh banyak perhatian pada upaya pencegahan pandemi pemerintah, misalnya Koalisi Warga LaporCovid-19. Pada awal Maret 2020, di saat Covid-19 mulai menyebar, instansi resmi terkait juga telah memerhatikan wabah tersebut. Pada saat itu, sekelompok individu yang memiliki perhatian terhadap hak asasi warga dan masalah kesehatan masyarakat terkait pandemi COVID-19 membentuk platform Koalisi Warga LaporCovid-19 sebagai wadah bagi warga untuk berbagi informasi tentang wabah yang mereka temukan tetapi tidak terjangkau oleh pemerintah.

Melalui manfaat kekuatan publik untuk mencatat jumlah kasus Covid-19 yang dikonfirmasi dan melaporkan situasi wabah di daerah sekitar, platform ini telah menjadi jembatan untuk mencatat data wabah di Indonesia. Dengan adanya platform LaporCovid-19, pemerintah dan masyarakat dapat memperoleh informasi tentang sebaran dan tingkat keparahan epidemi di dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga dapat menggunakan data yang terkumpul di platform LaporCovid-19 untuk merumuskan kebijakan dan rencana penanggulangan wabah.

LaporCovid-19 merupakan koalisi dari berbagai organisasi sebagai berikut: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), majalah Tempo, Efek Rumah Kaca, jaringan global NGO Transparansi Indonesia Internasional (Transparency International Indonesia), Yayasan Lokataru, Hakasasi.id, Aliansi U-Inspire Indonesia, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, media NarasiTV, Rujak Center for Urban Studies (RCUS), dan lembaga pengawas korupsi Indonesia ICW (Indonesia Corruption Watch). YLBHI adalah lembaga bantuan hukum Indonesia dan sekaligus juga merupakan organisasi hak asasi manusia yang telah memantau pelaksanaan hak asasi manusia pemerintah Indonesia sejak didirikannya pada tahun 1970-an; sementara majalah Tempo (Tempo Group) juga selalu memantau isu-isu seperti hak asasi manusia, lingkungan, korupsi, dsb.

Koalisi warga yang terdiri dari LaporCovid-19, ICW, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), YLBHI dan organisasi hak asasi manusia menggarisbawahi bahwa kebijakan pencegahan epidemi pemerintah Indonesia sangat berantakan. Koalisi berasumsi bahwa kinerja pemerintah Indonesia tidak bagus dan gagal dalam mencegah wabah sejak merebaknya pandemi pada awal Maret 2020.

LaporCovid-19 mengkritik upaya pencegahan epidemi pemerintah yang penuh kesalahan dan tidak mampu menekan kenaikan angka korban tewas secara efektif. Statistik LaporCovid-19 menunjukkan bahwa jika pemerintah bertindak secara tegas dan agresif pada saat itu dan telah mengeluarkan kebijakan pencegahan dan pengendalian yang kuat di awal munculnya wabah, angka kematian bisa ditekan sejak awal. (Baca artikel khusus “Kasus Meninggal Melonjak & RS Kolaps, Negara Gagal Tangani COVID?”, Tirto.id, 6 Juli 2021, https://tirto.id/ght5) Tapi kalaupun pemerintah Indonesia memberikan anggaran sebesar Rp 695,2 triliun pada 2020 (sekitar NTD 1,4 triliun) untuk memerangi pandemi, hasilnya juga tidak akan efektif.

Gambar: Angka kematian harian Covid-19 di Indonesia dari 27 Juli hingga 4 Agustus 2021

Vaksinasi dan Kematian Covid-19

Pada awal merebaknya wabah, angka vaksinasi masih rendah. Awalnya, pemerintah dan perusahaan farmasi ingin mengambil keuntungan melalui program vaksinasi berbayar. Setelah melalui perjuangan sengit, akhirnya pemerintah memutuskan untuk memberikan vaksinasi corona secara gratis kepada semua rakyat Indonesia.

Pada program awal vaksinasi berbayar, Presiden Jokowi sempat meluncurkan program vaksinasi individu berbayar via perusahaan farmasi milik negara Kimia Farma, program ini kemudian dicabut dan vaksinasi diberikan secara gratis. (Baca Koran Tempo, 16 Juli 2021, “Batalkan Vaksinasi Berbayar, Jokowi Pastikan Seluruh Vaksin Covid-19 Gratis.”)

Tetapi situasi sedikit membaik pada 1 Mei 2022. Jumlah penduduk Indonesia yang menerima vaksinasi dosis pertama mencapai 199 juta orang, sekitar 96% dari target total 208 juta orang. Jumlah penerima dosis kedua juga mencapai sekitar 165 juta orang, atau sekitar 34% dari jumlah target. Korban tewas akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 156.273 orang. (Lebih lanjut silakan baca https://covid.go.id, 1 Mei 2022).

Di samping itu, gejolak juga terus bermunculan dalam hal pengujian di Indonesia. Harga tes reaksi berantai polimerase (tes PCR) dan tes antigen yang mahal telah menjadi beban berat bagi masyarakat miskin di Indonesia. Kita ambil bulan November 2020 sebagai contoh, masyarakat Indonesia harus membayar biaya yang cukup mahal, sebesar Rp 1,5 juta (sekitar NTD 3.037) untuk tes PCR.

Banyak negara yang menerapkan tes Covid-19 gratis atau disubsidi, tetapi pemerintah Indonesia, perusahaan farmasi dan klinik malah mengambil keuntungan dengan membebankan biaya tes yang tinggi kepada masyarakat. Namun, pada tanggal 27 Oktober 2021, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menurunkan harga tes PCR menjadi Rp 275.000 (sekitar NTD 557) untuk pulau Jawa dan Bali, dan Rp 300.000 (sekitar NTD 607) untuk daerah lainnya.[3]

Kesimpulan

Covid-19 pada awalnya hanya merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi kemudian malah berubah menjadi krisis ekonomi dan sosial. Di negara-negara lain seperti Malaysia atau Brasil, masyarakat bahkan menuntut para penguasa untuk mengundurkan diri karena tidak puas dengan upaya pencegahan epidemi pemerintah.

Bagi negara-negara dengan sistem medis dan ekonomi yang buruk, dampak Covid-19 terhadap ekonomi dan kesehatan masyarakat sangatlah besar, contohnya Indonesia. Strategi pencegahan epidemi pemerintah Indonesia juga telah melanggar hak asasi manusia, seperti memaksa masyarakat untuk mematuhi protokol pencegahan epidemi dan bahkan memaksa orang untuk divaksinasi.

Begitu dilanda Covid-19, ekonomi Indonesia langsung menyusut. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang 5,02% pada tahun 2019 anjlok menjadi -2,07% pada tahun 2020 (sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, 2021). Bisa dibayangkan masa depan Indonesia akan berpaut pada angka kemiskinan yang terus meningkat, kesempatan kerja yang hilang dan PHK di mana-mana, serta kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB akan terhenti. Diperkirakan setelah pandemi, penduduk Indonesia yang terjerumus ke jurang kemiskinan akan mencapai 4,86 juta jiwa, atau 10,98% dari total penduduk (sumber: Kementerian Keuangan RI, 2020:33).

Kebijakan pemerintah Indonesia dalam pencegahan epidemi yang masih tidak jelas pada tahun 2021 membuat kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit. Namun ada satu hal yang pasti untuk saat ini yaitu utang luar negeri Indonesia semakin meningkat dalam upaya memerangi wabah, terutama untuk revitalisasi ekonomi dan vaksinasi.

Bulan Juli tahun 2021 adalah bulan yang tidak akan pernah dilupakan masyarakat Indonesia, karena bulan tersebut merupakan periode terburuk dari pandemi Covid-19. Sistem medis kolaps dan kekurangan tabung oksigen telah menyebabkan angka kematian meroket; ditambah perusahaan farmasi yang ingin memperkaya kantong-kantong mereka sendiri dengan menaikkan harga, sehingga obat-obatan dan tabung oksigen menjadi mahal dan langka.

Sementara pemerintah Indonesia sibuk menyemprot rakyatnya yang tidak mematuhi protokol pencegahan epidemi dan meluncurkan peraturan yang berubah pada setiap minggunya untuk mengunci masyarakat di rumahnya sendiri. Selain membagikan 10 kilogram beras kepada fakir miskin, tidak ada bantuan lainnya. Sembako yang diberikan kepada masyarakat miskin selama wabah dikorupsi oleh Menteri Sosial Juliari Batubara. Juliari sendiri telah divonis 12 tahun penjara pada saat ini.[4]

Angka kematian akibat Covid-19 pada Juli 2021 meningkat 348%, dengan peningkatan sekitar 270.409 kasus (baca Kompas, 5 Agustus 2021, “Naik 348 Persen pada Juli, Kematian Pasien Covid-19 Diharapkan Turun di Agustus”).  Hingga 1 Mei 2022, jumlah kematian akibat Covid-19 di Indonesia telah mencapai 156.273 nyawa. (sumber: Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19), yang sebagian besar terjadi pada tahun 2021.

Kebijakan pencegahan epidemi Indonesia juga menuai kritik dari para aktivis hak asasi manusia. Laporan Hak Asasi Manusia Indonesia tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS menunjukkan bahwa program PeduliLindungi yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah epidemi telah melanggar hak asasi manusia. Dalam laporan menyebutkan bahwa aplikasi yang digunakan untuk pelacakan kasus telah mengekang kebebasan gerak individu dan mencuri data pribadi orang tanpa persetujuan. (baca Kompas, 19 April 2022, “Need for a New World Order”)

Laporan HAM ini bersumber dari LSM Indonesia yang juga menyertakan data dan informasi tentang hak asasi manusia pandemi Covid-19 di Indonesia. Oleh karena itu, meskipun mendapat bantahan keras dari pemerintah Indonesia, laporan HAM Departemen Luar Negeri AS ini tidak bisa diabaikan begitu saja.

Setelah membaca laporan hak asasi manusia ini, Anda akan menemukan bahwa Indonesia kesulitan dalam menerapkan dan menghormati hak asasi manusia di bawah pandemi, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan beraktivitas dan kebebasan individu. Kehidupan masyarakat telah dimiliterisasi selama pandemi dan kebebasan berbicara juga terbatas. Langkah-langkah yang mengekang kebebasan rakyat ini ditujukan untuk mengurangi angka kematian akibat Covid-19. Namun faktanya, hingga 1 Mei 2022, jumlah kematian akibat Covid-19 masih setinggi 156.273 jiwa. Oleh karena itu, sebagai negara demokrasi yang seharusnya memprioritaskan perlindungan hak asasi manusia, pencegahan epidemi tidak seharusnya menjadi alasan pemerintah Indonesia untuk melanggar hak asasi manusia melalui pemaksaan dan pengekangan.

Referensi

BBC News Indonesia, 16 Maret 2020, “Virus corona: Jokowi umumkan langkah pengendalian Covid-19, tapi tanpa komando nasional.”

BBC News Indonesia, 23 Agustus 2021, “Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara.”

Badan Pusat Statistik RI, tahun 2021.

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19), baca https://covid.go.id, 1 Mei 2022.

CNN Indonesia, 16 Maret 2020, “Media Asing Soroti Jokowi Minum Jamu Untuk Tangkal Corona.”

Kementerian Keuangan, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021: Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi.,Jakarta: Kementerian Keuangan, 2020.

Kompas Indonesia, 16 April 2020, “Upaya-upaya TNI dalam Penanganan Pandemi COVID-19.”

Kompas Indonesia, 20 Desember 2020, “Kebijakan Pemerintah Menangani Covid-19 Sepanjang Semester II 2020.”

Kompas Indonesia, 5 Agustus 2021, “Naik 348 Persen pada Juli, Kematian Pasien Covid-19 Diharapkan Turun di Agustus[LTA1] ”

Kompas Indonesia, 19 April 2022, “Perlunya Tata Dunia Baru”

Liputan6.com, 19 Mei 2022, “Perbandingan Harga Tes PCR, Antigen hingga Masker Dulu dan Sekarang, Bak Bumi dan Langit.”

Sindonews.com, 5 Agustus 2021, “21 Juta Penduduk Indonesia Sudah Divaksin Covid-19 Secara Lengkap.”

Koran Tempo, 16 Juli, 2021, “Batalkan Vaksinasi Berbayar, Jokowi Pastikan Seluruh Vaksin Covid-19 Gratis.”

Koran Tempo, 28 Juli 2021, “Breaking News: Korupsi Bansos Covid, Juliari Batubara Dituntut 11 Tahun Penjara.”

Tirto, 6 Juli 2021, “Kasus Meninggal Melonjak & RS Kolaps, Negara Gagal Tangani COVID?” https://tirto.id/ght5

Departemen Luar Negeri AS, “Laporan Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2021”.

[1]Baca Kompas, “Upaya-upaya TNI dalam Penanganan Pandemi COVID-19”, 16 April 2020.

[2]Baca Kompas “Breaking News: Korupsi Bansos Covid, Juliari Batubara Dituntut 11 Tahun Penjara”, 29 Juli 2021

[3] Baca Liputan6.com: “Perbandingan Harga Tes PCR, Antigen hingga Masker Dulu dan Sekarang, Bak Bumi dan Langit”, 19 Mei 2022)

[4]Baca BBC News Indonesia, “Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara”, 23 Agustus 2021

Illustrators: Zheng Ting-Zhi

Berita ini telah terbit di: https://fihrmap.nhrm.gov.tw/in/?g=essays_content&sid=43

Tinggalkan komentar

Skip to content