Menyoal masalah dibebaskannya terdakwa pencuri 744.200 gram emas dan 937.700 gram perak yang merugikan negara atas hilangnya cadangan emas dan perak sekitar Rp 1.020.622.071.358 (1,02 triliun), maka perlu menilik lebih dalam tentang histori kasus yang terjadi sebelumnya dan hubungannya dengan tata kelola pertambangan dan penegakan hukum yang ugal-ugalan di Kalimantan Barat & Indonesia.
Perkara ini terjadi di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampai Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten Ketapang. Tepatnya di wilayah yang diberikan izin oleh negara untuk korporasi pertambangan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) dan eks IUP PT Bukit Belawan Tujuh (PT BBT).
Kasus ini bermula dari laporan Direktur PT Bukit Belawan tujuh (PT BBTT) Dedy Rahmat kepada Korwas PPNS Mabes Polri dan PPNS Dirjen Minerba Kemeterian ESDM tentang aktifitas penambangan tanpa izin di dalam konsesi PT SRM. Menindaklanjuti laporan Direktur PT BBT, PPNS Ditjen Minerba melakukan serangkaian kegiatan Pengawasan, Pengamatan, Penelitian dan Pemeriksaan (WASMATLITRIK) dibawah koordinasi dan pengawasan Biro Korwas PPNS Bareskrim POLRI.
Dalam WASMATLITRIK di lokasi terowongan milik PT SRM, ditemukan sejumlah alat bukti yang menjadi ciri khas pengolahan dan pemurnian emas antara lain pemecah batu (grinder), induction furnace, pemanas listrik, koli untuk melebur emas, cetakan bullion grafit, exhaust / kipas hisap, bahan kimia penangkap emas, garam, kapur dan peralatan yang digunakan untuk menambang antara lain blasting machine, lower dozer, dumptruck listrik dan lori.
Dalam siaran pers Kementerian ESDM No: 363.Pers/04/SJI/2024 tanggal 9 Juli 2024, dijelaskan bahwa modus yang digunakan dalam tindak pidana ini adalah memanfaatkan lubang tambang dalam (tunnel) yang masih dalam masa pemeliharaan di WIUP dengan alasan kegiatan pemeliharaan dan perawatan, namun pelaksanaan kegiatan di tunnel yaitu melaksanakan blasting/pembongkaran menggunakan bahan peledak, kemudian mengolah dan memurnikan bijih emas di lokasi tersebut (di dalam tunnel). Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel tersebut dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas. Dalam kasus ini, tersangka Yu Hao berperan sebagai pimpinan penambangan di bawah tanah (underground mining) di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampai Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Kalimantan Barat, pada kurun waktu bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2024.
Terdakwa yang dibebaskan tersebut adalah Yu Hao (49 tahun), Tenaga Kerja Asing asal negara China bekerja di PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) sebagai Maintenance Reliability Specialist. Ia dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ketapang melakukan penambangan tanpa izin yang melanggar pidana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan tuntutan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 50 miliar, subsider enam bulan kurungan dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Ketapang.
Hakim Pengadilan Negeri Ketapang lanjut memutuskan vonis hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, terdakwa Yu Hao juga divonis membayar denda Rp 30 miliar atau subsider 6 bulan kurungan apabila terpidana tidak bisa membayar denda tersebut. Putusan tersebut tertuang dalam Nomor Perkara 332/Pid.Sus/PN Ktp. Lebih ringan dibanding tuntutan JPU.
Yu Hao melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak, tercatat dengan Nomor 464/PID.SUS/2024/PT PTK. Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak yang dipimpin Isnurul S Arif mengabulkan permohonan banding Yu Hao dan membebaskannya dari semua dakwaan dari putusan pengadilan Negeri Ketapang. Dalam Petikan amar putusan, “majelis Hakim menyatakan terdakwa Yu hao tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Membesaskan terdakwa Yu hao oleh karena itu dakwaan tersebut, memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya dan memerintah penuntut umum membebaskan terdakwa dari tahanan”.
Tidak menerima dengan putusan vonis bebas Yu Hao, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan menandatangani akta permohonan kasasi No. 7/Akta.Pid/2025/apN-Ktp tertanggal 17 Januari 2025.
Histori Konflik
Sebelumnya terdapat dua perusahaan pertambangan emas yang lokasi IUP nya berdekatan di Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten Ketapang Kalbar. Yaitu PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) dan PT Bukit Belawan Tujuh (PT BBT). Namun PT BBT telah dicabut izinnya oleh Presiden pada 6 januari 2022 dan diumumkan oleh Kementerian ESDM pada April 2022 karena diangap nganggur.
PT SRM merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi No 40/1/IUP/PMA/2020 23 September 2020 berlaku hingga 9 juni 2030, dengan luas 99,90 Ha berstatus CNC-9 (telah memenuhi persyaratan administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan, dan keuangan). Sertifikat ini diterbitkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. PT SRM tercatat berkantor di gedung Wisma Raharja lantai 8. Jalan Letjen TB. Simatupang kav.1 rt.008/rw.003, Cilandak Timur, Jakarta Selatan.
Perusahaan ini hingga Januari 2025 hanya melakukan aktifitas pemeliharaan, belum mendapatkan persetujuan RKAB sejak 2021 dan belum mendapatkan persetujuan RKAB produksi 2024-2026 dari Ditjen Minerba Kementerian ESDM. Selama RKAB belum disetujui, maka tidak diperbolehkan melakukan aktifitas operasi produksi kembali.
Sejak September dan seterusnya November 2021, mesin generator diesel, kompresor, lori, panel listrik, bahan baku tambang (batu dan pasir), mulut trowongan dan pabrik pengolahan & pemurnian milik PT SRM disegel dan dipasang police line akibat kasus penggalian terowongan yang melampaui WIUP nya (masuk ke wilayah WIUP PT BBT) serta diduga dilaporkan melakukan pencurian batu dengan kandungan emas di WIUP PT BBT serta 3 karyawan PT SRM dilaporkan memindahkan barang bukti sitaan (batu dan pasir) pada November 2021. Kasus tersebut tertuang dalam Laporan Polisi No.LP/B/0537/IX/2021/SPKT/Bareskrim Polri tanggal 8 September 2021 & No.LP/A/0697/XI/2021/SPKT.Ditipidter/Bareskrim Polri, tanggal 19 November 2021.
Akibat laporan 8 September 2021 tersebut, Pamar Lubis selaku Direktur PT SRM ditetapkan sebagai tersangka dan Li Changjin selaku investor yang mendanai PT SRM masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
PT SRM Berdalih, dengan alasan penyegelan dan diblokirnya rekening perusahaan, PT SRM tidak memberikan upah buruh selama berbulan-bulan kepada ratusan buruhnya. Selama penyegelan berlangsung, perusahaan sama sekali tidak diperbolehkan melakukan aktifitas operasi produksi sehingga buruh menghadapi kondisi kepastian kerja yang sangat buruk, mereka menganggur dengan upah yang hak upah yang belum terbayarkan. Bagian kerja yang tetap beroperasional adalah pekerjaan maintenance atau pemeliharaan, terutama di dalam terowongan.
Selain itu, PT SRM juga memiliki track record buruk sejak awal. Hal itu berkaitan dengan konflik agraria dengan masyarakat pemilik lahan meliputi nilai & pemberian ganti rugi lahan yang tidak adil, dugaan manipulasi hasil produksi emas untuk menurunkan besaran pajak yang disetor ke negara, dugaan penggunaan tenaga kerja asing ilegal, Tindak Pidana Pencucian Uang, penggunaan air raksa/mercuri (Hg) dengan kandungan yang cukup tinggi yang membahayakan lingkungan dan keselamatan buruh & masyarkat sekitar dan manipulasi perizinan dari CV yang berubah ke PT hingga peningkatan Penanaman Modal Asing .
Fantastisnya, PT SRM lepas dari semua jeratan hukum yang dilaporkan oleh PT BBT, hingga direktur PT SRM divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Ketapang 1 Februari 2024, yang menyatakan “terdakwa Muhammad Pamar Lubis tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif pertama, dakwaan alternatif kedua dan dakwaan alternatif ketiga Penuntut Umum. Sehingga hakim memutuskan membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan Penuntut Umum (vrijpraak), dan memulihkan hak hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya, serta mengembalikan seluruh barang bukti”.
Karena lepas dari semua dakwaan, PT SRM kembali merencanakan operasionalisasi perusahaan pada Februari 2024. Namun akibat belum mendapatkan persetujuan RKAP dari Ditjen Minerba, maka perusahaan ini belum dapat beroperasi seperti sedia kala. Sembari menunggu RKAP terbit, hanya dapat melakukan pemeliharaan. Namun dalam proses pemeliharaan di dalam trowongan, sejak Februari hingga Mei 2024, Yu Hao selaku Maintenance Reliability Specialist PT SRM dilaporkan ke pihak kepolisian oleh direktur PT BBT. Dengan dakwaan melakukan penambangan tanpa izin di area pemeliharaan yang belum disetujui RKAP nya.
Histori konflik yang terjadi antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat bahkan konflik antara PT SRM dengan PT BBT hingga penangkapan Yu Hao hingga diputus bebas di Pengadilan Tinggi Pontianak mencerminkan kesemerawutan tata kelola pertambangan di Kalimantan Barat. Dan tidak sanggupnya negara mengurusi perizinan yang telah mereka terbitkan sendiri, hingga negara mengalami kerugian fantastis mencapai 1,02 trilliun. Berlarutnya masalah ini menggambarkan fungsi pengawasan negara yang sangat lemah atas izin yang telah mereka terbitkan. Yeng telah melahirkan konflik agraria di banyak pedesaan di Kalimantan Barat. Dan seterusnya merugikan buruh karena tidak mendapatkan kepastian kerja serta jaminan atas pembayaran upahnya.
Keberadaan perusahaan tambang nyatanya tidak sepenuhnya memajukan kesejahteraan masyarakat disekitarnya, justeru menghilangkan hak-hak masyarkat adat yang secara lanjut akan mengikis identitas serta karakteristiknya sebagai masyarkat adat.
Lebih jauh, pertambangan sudah terbukti menjadi industri paling destruktif karena deforestasi yang diakibatkannya. Tidak ada satupun bukti proyek reklamasi tambang yang dapat memulihkan kembali lokasi yang telah ditambang di Kalimantan Barat. Selain karena biayanya yang mahal dan memang tidak ada kesungguhan untuk mengawasinya. Terlebih tambang emas skala besar yang beroperasi membangun trowongan besar di dalam tanah, menggunakan bahan peledak serta berbagai bahan kimia berbahaya dalam proses mendapatkan, pengolahan dan pemurnian seperti air raksa/merkuri (Hg) yang beresiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan buruh, masyarakat sekitar serta kelestarian alam.
Perlu diketahui, Kalimantan Barat memiliki deposit barang tambang yang besar. Posisi pertama diduduki bauksit yang menjadi primadona negara asing. Karena diproses menjadi aluminium untuk kepentingan produk elektronik, bahan stainless serta bahan campuran untuk industri motor dan mobil listrik di saat dunia sedang mengalami demam solusi palsu dari tambang nikel dan bauksit untuk program transisi energi melalui produksi besar-besaran kendaraan listrik dan elektronik. Deposit bauksit yang terdapat di Kalimantan Barat merupakan deposit terbesar se-Indonesia. selain bauksit, juga terdapat banyak deposit emas, perak, uranium, batu bara, timah, pasir besi dll.
Pada tahun 2014, tercatat 813 izin pertambangan dengan luas 5,4 juta Ha yang diberikan kepada korporasi di Kalimantan Barat. Itu meliputi IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi. Selanjutnya 2015 terdapat 191 izin pertambangan dengan total luasan 1,2 juta Ha yang dicabut izinnya, tersisa 622 izin dengan luasan 4,19 juta Ha di Kalimantan Barat. Dapat terbayang berapa banyak izin yang tak sanggup diawasi oleh negara. Yang saat ini tanggungjawab pemberian izin dan pengawasannya dimonopoli Kementerian ESDM di level pemerintah pusat pasca revisi Undang-undang Minerba.
Penegakan hukum bagi penambang-penambang skala kecil yang miskin dan tak berizin yang dianggap ilegal begitu massif dan kejam, namun bagi perusahaan-perusahaan asing yang menimbulkan kerugian besar bagi negara begitu syuliiit !!!. Praktik penambangan ilegal tidak hanya bagi mereka yang kecil, namun sekarang yang berizin juga sering melakukan tindakan ilegal dengan menambang barang tambang yang tak sesuai dengan izin penambangannya. Izin yang didapat dari negara untuk menambang A, namun juga mengambil diam-diam emas yang lebih tinggi nilainya. Sampai 2025 Link-AR Borneo belum menemukan data terupdate terkait jumlah dan luasan perizinan tambang di Kalimantan Barat. Kami berharap data tersebut dapat diakses untuk mengefektifkan fungsi masyarakat dan berbagai lembaga dalam mengawasi praktik-praktik melenceng dari perusahaan tambang, untuk meminimalisir kerugian negara seperti yang terjadi saat ini pada kasus Yu Hao di WIUP PT SRM Ketapang. Langkah kongkret yang paling tepat sekarang ini bagi pemerintah Indonesia adalah melakukan evaluasi dan peninjauan kembali semua perizinan tambang (IUP eksplorasi maupun operasi produksi) yang telah diterbitkan di Kalimantan Barat dan Indonesia dan menerbitkan inpres untuk pelaksanaan moratorium pemberian izin tambang baru di Kalbar khususnya dan Indonesia umumnya.
Oleh : Ahmad Syukri
Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo)