Rabu, 24 September 2025
Perusahaan perkebunan sawit, First Borneo Group terpantau melakukan deforestasi masif di kawasan Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tercatat hingga Agustus 2025, PT Equator Sumber Rezeki, salah satu anak perusahaan First Borneo Group melakukan deforestasi mencapai 1.548,18 hektar atau sekitar 2 ribu kali luas lapangan sepakbola.
Selain PT Equator Sumber Rezeki, Grup First Borneo juga memiliki beberapa anak perusahaan yang berada di Kabupaten Kapuas Hulu, yakni PT Borneo International Anugerah, PT Kalimantan Agro Abadi, PT Baturijal Perkasa, PT Ceram Agrotama Energi, PT Mitra Kapuas Agro, dan PT Kapuas Bio Agro. PT Borneo International Anugerah tercatat oleh Simontini merupakan salah satu deforester terbesar, dengan kehilangan hutan seluas 514 hektar pada 2023 dan meningkat menjadi 2.022 hektar pada 2024. Seluruh konsesi PT Borneo International Anugerah juga terindikasi beraktivitas di kawasan gambut.
Sementara itu, hingga saat ini, PT Equator Sumber Rezeki terus melakukan deforestasi di dalam Koridor Bentarum yang berada di Desa Setulang, Mensiau, Labian, Labian Ira’ang, Sungai Abau, dan Senunuk yang memiliki beberapa tipe kelas tutupan lahan, dan hampir 80% atau sekitar 11.600,3 hektar didominasi tutupan hutan alam. Berdasarkan data Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) 2016, total sebaran habitat orangutan di dalam konsesi PT Equator Sumber Rezeki (ESR) mencapai sekitar 3.827 hektar–hampir seperempat luas konsesinya.
Analisis citra satelit juga menunjukkan bahwa deforestasi terjadi secara konsisten dari tahun 2024 hingga Agustus 2025 dengan kehilangan hutan sekitar 1.548,18 hektar, dimana sekitar 904,73 hektar di antaranya tumpang tindih dengan sebaran habitat orangutan tersebut. Temuan ini mengindikasikan adanya ancaman serius terhadap kelangsungan habitat orangutan akibat pembukaan hutan yang terus berlangsung. Rincian deforestasi per tahun ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas deforestasi (ha) PT Equator Sumber Rezeki tahun 2024-2025
| Tahun | Luas Deforestasi (ha) | Luas Deforestasi dalam area PHVA 2016 (ha) |
| 2024 | 195,06 | 92,17 |
| 2025 (Jan-Ags) | 1.353,12 | 812,56 |
| Total | 1.548,18 | 904,73 |
Sumber: Analisis Internal, 2025
Visualisasi spasial dari deforestasi ini dapat dilihat pada Gambar 1, yang menampilkan lokasi kehilangan hutan serta keterkaitannya dengan sebaran habitat orangutan.

Gambar 1. Spasial analisis deforestasi PT Equator Sumber Rezeki 2024 – 2025
Terdapat juga bekas ladang, perkebunan, permukiman dan wilayah yang memiliki nilai penting bagi masyarakat adat di desa-desa tersebut. Tutupan hutan alam ini penting untuk pelestarian keanekaragaman hayati, terutama sebagai penghubung antara dua taman nasional. Kawasan ini merupakan habitat bagi berbagai spesies satwa penting, dan juga menyediakan potensi ekonomi alternatif bagi masyarakat, seperti tengkawang yang ditemukan di hampir seluruh desa.
Ancam Masyarakat Adat & Keanekaragaman Hayati
Dalam area konsesi PT ESR terdapat komunitas adat Dayak Iban Menua Ngaung Keruh di Desa Labian, Kecamatan Batang Lupar yang hidup dengan tradisi rumah panjang (rumah betang). Hutan adat mereka, seluas 114,25 hektar, telah memperoleh pengakuan resmi melalui SK No. 11954 Tahun 2024. Selain rumah betang, masyarakat Dayak Iban memiliki ikatan yang kuat dengan hutan adat mereka. Hutan bukan sekadar sumber kayu atau lahan garapan, melainkan ruang hidup yang menyediakan sumber pangan, obat-obatan tradisional, bahan bangunan, hingga tempat yang sakral untuk upacara adat dan praktik kepercayaan.
Satya Bumi menemukan adanya penggusuran ladang, makam leluhur, tembawang serta bekas rumah betang di Desa Setulang dan Desa Sungai Senunuk pada kecamatan yang sama. Ladang masyarakat dibeli hanya Rp300.000 per hektar, sementara tembawang, makam tua, dan bekas rumah betang digusur tanpa pemberitahuan. Setelah masyarakat menuntut melalui mekanisme adat, perusahaan akhirnya memberikan kompensasi sebesar Rp3 juta. Operasional perusahaan di kawasan ini berpotensi mengganggu dan mengancam keberlanjutan ruang hidup komunitas adat tersebut.
Kapuas Hulu juga memiliki Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentarum yang diakui UNESCO (KSDAE, 2017), namun di sisi lain aktivitas deforestasi hingga saat ini masih berlangsung. Dua hal yang sangat bertolak belakang dan menunjukan bahwa ambisi penurunan emisi gas rumah kaca tidak serius seperti gaungnya. Cagar Biosfer berperan penting dalam menyeimbangkan ekonomi dan kelestarian alam. Tanpa pengelolaan yang bijak, keberadaan Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentarum (Bentang Alam Betung Kerihun Danau Sentarum – BKDS) terancam dicabut. Ancaman utama yang dapat merusak keseimbangan ekologi kawasan adalah alih fungsi lahan dan deforestasi, yang berpotensi mengancam keanekaragaman hayati. Salah satu kawasan yang dikenal akan kekayaan keanekaragaman hayati di luar taman nasional adalah Koridor Bentarum.
Konsesi PT ESR merupakan habitat kritis bagi orangutan Kalimantan, spesies ikonik yang sangat terancam punah menurut IUCN. Peringatan keras bagi PT ESR bahwa keberlangsungan hidup orangutan, kelestarian hutan, dan stabilitas ekosistem tidak bisa dikorbankan demi kepentingan ekonomi semata. Selain itu Hutan Kalimantan juga merupakan penyangga kehidupan bagi masyarakat adat dan lokal.
Minim Transparansi & Akuntabilitas
Ekspansi PT ESR tidak hanya menggambarkan jejak kelam industri sawit, tetapi juga membunyikan alarm kekhawatiran serius. Fakta bahwa PT ESR masih membuka hutan, sementara 83% kapasitas refinery global sudah menerapkan kebijakan NDPE (Chain Reaction Research, 2020), menunjukkan bahwa mekanisme NDPE masih lemah dalam implementasinya. Situasi ini pun kian mengkhawatirkan karena First Borneo Grup sebagai induk perusahaan belum terkonfirmasi memiliki komitmen NDPE, sehingga risiko deforestasi tetap tinggi. Oleh karena itu, ini bisa menjadi bahan peringatan bahwa perusahaan yang telah menerapkan komitmen NDPE seharusnya lebih waspada dan menolak pasokan dari First Borneo Group.
Tidak hanya sampai di situ, kegiatan PT ESR dibungkus dengan minimnya transparansi dan lemahnya akuntabilitas. Publik kesulitan menilai sejauh mana perusahaan ini menjalankan praktik keberlanjutan dan sejauh mana perusahaan ini dapat memberikan manfaat positif jangka panjang bagi masyarakat. Perlu disadari bahwa ekspansi ini sangat mengancam keberlanjutan ekosistem hutan dan berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat dan lokal.
Untuk itu, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi baik nasional maupun daerah Kalimantan Barat dengan tegas mendorong:
- Pemerintah Republik Indonesia dari pusat sampai daerah harus melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan berkelanjutan.
- Pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kapuas Hulu meminta perusahaan yang sedang melakukan deforestasi di Kabupaten Kapuas Hulu untuk berhenti beroperasi.
- Pemerintah menegakkan hukum secara tegas terhadap perusahaan yang terbukti melakukan deforestasi, sekaligus mendesak agar perusahaan melaksanakan uji tuntas atas aspek HAM, sosial, dan lingkungan.
- Perusahaan yang saat ini sedang melakukan deforestasi di Kabupaten Kapuas Hulu secara terbuka menyampaikan laporan dampak lingkungan kepada publik.
- Perusahaan wajib melakukan pemulihan dan restorasi pada kawasan yang sudah terdampak deforestasi.
Koalisi Masyarakat Sipil
- Satya Bumi
- Teraju Indonesia Foundation
- LBH Pontianak
- Link-AR Borneo
- LBH Kalimantan Barat
- WALHI Kalimantan Barat
- AMAN Kalimantan Barat
- Institut Dayakologi/Pusat Dayakogi
