Pandangan Link-AR Borneo atas undangan klarifikasi, pemanggilan berturut pertama dan kedua sebagai saksi oleh Polres Ketapang terhadap saudara Tarsisius Fendy Sesupi dan Ricky Prasetya Mainaiki merupakan upaya sitematis kriminalisasi terhadap Petinggi Adat dan Tokoh Adat Kualan Hilir yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan penyelamatan lingkungan hidupnya. Perlu diketahui, bahwa Saudara Fendy merupakan Kepala Adat Dusun (Temangong Adat Dusun Lelayang,Desa Kualan Hilir) dan Ricky merupakan Ketua Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) wilayah Kualan Sobah. Keduanya adalah Tokoh adat yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak masayarakat adat serta penyelamatan hutan di wilayah adat yang telah dirampas serta dirusak oleh perkebunan kayu skala besar PT Mayawana Persada.
PT Mayawana Persada sejak 2019 sangat massif melakukan praktik perampasan tanah (land grabbing), pembabatan hutan, perusakan lahan pertanian milik masyarakat adat untuk proses land clearing dan penanaman akasia dan ekaliptus. Selain itu, dalam operasionalnya mereka menggunakan praktik pecah belah & adu domba antar masyarakat hingga pada tindakan pembakaran pondok ladang alat kerja dan gabah padi. Selain itu, tercatat sejak 2016-2022 PT Mayawana Persada menyumbang deforestasi seluas 35.000 hektar dan mendapat predikat penyumbang deforestasi terbesar se Indonesia pada 2023 dan penghargaan dari salah satu ditjen KLHK sebagai perusahaan dengan proses penanaman tercepat
Masyarakat tidak pernah setuju atas operasional PT Mayawana Persada di wilayahnya, karena terbukti memecah belah persatuan, merusak hutan, merampas tanah, mengintimidasi dan mengkriminalisasi serta mengadu domba masyarakat. Berbeda jauh dengan janji kesejahteraan atas masuknya investasi yang disampaikan baik oleh perusahaan maupun pemerintah.
Dalam menghadapi masalah dan mencari jalan keluarnya, masyarakat melakukan upaya-upaya dialog berupa negosiasi dan mediasi bahkan langkah hukum berupa penegakan hukum adat dan gugatan hukum. Pertemuan tersebut sering dilaksanakan , ada banyak sekali kesepakatan bersama para pihak yang dituliskan dalam berita acara yang ditandatangani oleh pihak-pihak terkait. Bahkan dalam pertemuan tersebut seringkali Petinggi Adat menetapkan sanksi adat kepada pihak PT Mayawana Persada atas pelanggaran adat yang mereka lakukan. Di dalam forum pertemuan, mereka menerima semua tuntutan sanksi adat tersebut, baik yang terjadi di Betang Paser Semandang kanan, Balai Desa Kualan Hilir, Camp subkontraktor PT TSA Blok J, Kantor PT Mayawana Persada Estate Kualan dll. Bahkan mereka berjanji untuk membayar sanksi adat yang telah ditetapkan dan menyelesaikan seluruh permasalahan yang terjadi seperti masalah perampasan tanah dan perusakan kebun milik masyarakat adat serta perusakan situs sakral Bukit Sabar Bubu.
Namun, kenyataannya janji mereka tidak ditepati. Justru terus lanjut merampas tanah masyarakat, merusak tanaman masyarakat dan membabat hutan di wilayah adat diiringi tindakan intimidasi dan bayang-bayang kriminalisasi.
Aksi mendirikan portal adat ( mandoh adat ) yang dilakukan Saudara Fendy dan Ricky bersama petinggi adat serta masyarakat pada 3 Desember 2023 adalah bentuk protes atas tidak ditepatinya janji-janji yang telah disepakati, termasuk Pemenuhan atas sanksi adat yang telah ditetapkan. PT Mayawana Persada jelas tidak menghormati hukum adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Kualan Hilir. Atas dasar itulah pendirian mandoh adat berlanjut ke Kantor Estate Kualan untuk meminta manajemen PT Mayawana Persada untuk turut menghadiri ritual pendirian mandoh sekaligus mempertanyakan perihal penyelesaian masalah pembakaran 9 pondok ladang dan gabah padi serta perampasan tanah dan pengrusakan kebun.
Karena masyarakat merasa sering diberikan janji palsu, pada negosiasi yang dihadiri pihak perusahaan, perwakilan masyarakat dan juga aparat BKO Brimob Polda Kalbar di ruang rapat kantor Estate Kualan. Masyarakat mendesak adanya tanda jadi ( Batang Adat) sebagai bukti keseriusan dan iktikad baik PT Mayawana Persada dalam penyelesaian sanksi adat dan semua masalah yang dituntut masyarakat. Dalam negosiasi tersebut disepakatilah batang adat berupa perlengkapan adat berupa tempayan dll yang tidak dapat disediakan saat itu juga oleh perusahaan. Maka dikonversilah menjadi uang senilai Rp.16.000.000 juta rupiah. Nilai tersebut disepakati, namun perusahaan berdalih tidak memiliki uang cash. jadi disepakati lagi bahwa uang tersebut ditransfer ke rekening saudara Fendy, yang selanjutnya dibelanjakan perlengkapan adat di Balai berkuak
Pihak perusahaan juga berjanji akan melakukan pelunasan sanksi adat dan peyelesaian masalah pada 5 Desember 2023 di kampung gensaok, Dusun Sabar Bubu. Namun pada tanggal yang dijanjikan pihak perusahaan tidak kunjung datang hingga saat ini. Justru yang datang surat undangan klarifikasi dan seterusnya surat panggilan pertama dan kedua.
Atas dasar ini lah , Link-AR Borneo menyimpulkan bahwa kasus ini dipaksakan dan benar-benar upaya sistematis kriminalisasi Tokoh Masyarakat Adat. Sekaligus bentuk pemberangusan demokrasi di pedesaan, perendahan masyarakat adat dan hukum adat. Link-AR Borneo memberikan pendapat: pertama, bahwa perkara yang meminta saudara Fendy dan Ricky sebagai saksi bukanlah tindak pidana pemerasan, melainkan manifestasi pelaksanaan hukum adat /sanksi adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PT MP. Kedua, pemanggilan terhadap saudara Fendy dan Ricky, karena tidak memiliki dasar yang kuat, maka penyelidikan atau penyidikan harus dihentikan. Ketiga, PT MP harus mencabut pelaporan perkara itu dan mematuhi serta melaksanakan sanksi adat maupun kesepakatan yang sudah secara sukarela di terima baik oleh masyarakat maupun oleh PT MP sendiri sebagaimana tertuang dalam berita acara kesepakatan dalam berbagai pertemuan.