Penindasan dan ketidakadilan masih dialami kaum perempuan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh konstruksi sosial budaya bahwa perempuan adalah makhluk lemah. Posisi perempuan dinomorduakan setelah laki-laki. Budaya patriarki menguat dalam lapisan masyarakat, termasuk dalam hubungan produksi di perkebunan kelapa sawit. Buruh perempuan kerap dipandang semata-mata hanya sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga. Padahal dari total jumlah buruh sawit sekitar 20 juta, hampir 60% adalah buruh perempuan. Di lingkungan kerja perempuan kerap mengalami berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi; upah rendah, kekerasan fisik dan seksual, target kerja tinggi, tidak mendapatkan hak reproduksi dan sebagainya. Kita dapat melihat, bahwa perempuan mengalami peran ganda sebagai buruh dan sekaligus ibu rumah tangga (mengurus pekerjaan domestic).
Isu kesetaraan gender dan pemenuhan hak-hak buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu isu yang penting. Kesetaraan gender yakni kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di dalam seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masih merupakan perjuangan besar bagi kaum perempuan. Baik di negeri-negeri maju maupun di negeri-negeri berkembang, kesetaraan gender atau kesamaan kedudukan antara perempuan maupun laki-laki masih merupakan perjuangan yang sengit, meski kesetaraan gender telah menjadi bagian agenda perjuangan internasional seperti dalam Agenda 2030 (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, SDGs) maupun nasional.
Di negeri-negeri berkembang seperti Indonesia misalnya, perjuangan untuk kesetaraan perempuan dengan laki-laki masih banyak mengalami hambatan karena adanya prasangka atau diskriminasi kebudayaan yang berakar kuat dalam masyarakat maupun hambatan lainnya. Karena perempuan masih mengalami hambatan seperti pembatasan ruang gerak, stereotip dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Hak-hak buruh perempuan di dalam sektor perkebunan kelapa sawit, juga masih mengalami banyak masalah. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan perusahaan, kerap hanya menjadi lip service.
Kondisi kerja di perkebunan kelapa sawit, belum pengarusutamaan terhadap kesetaraan gender. Hal ini dapat dilihat dari minimnya fasilitas dan ruang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan hak-hak nature (alami) dan normatif. Mayoritas buruh sawit perempuan bekerja sebagai perawat kebun dan penyemprot, di mana statusnya dipertahankan sebagai buruh harian lepas (BHL). Hal ini berkorelasi terhadap upah yang mereka terima di bawah upah minimum dan pembatasan akses atas tunjangan maupun hak cuti hamil dan haid. Buruh perempuan terutama yang berstatus BHL, tidak diberikan kesempatan untuk memberikan ASI Ekslusif kepada balitanya. Kondisi kerja di perkebunan sawit masuk kategori berat dan sangat rawan terhadap tindak kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan.
Perusahaan sendiri tidak memiliki SOP mitigasi dan tindak lanjut atas kekerasan yang dialami buruh sawit perempuan. Sementara alat pelindung diri (APD) yang didapatkan oleh buruh sawit perempuan tidak layak dan sangat sulit untuk mengajukan pergantian APD. Buruh perempuan yang bekerja sebagai penyemprot memiliki risiko lebih tinggi karena berinteraksi dengan zat kimia. Mereka sering mengalami sakit seperti sesak pernafasan, iritasi mata dan kulit. Belum lagi berpotensi mengganggu fungsi reproduksi buruh sawit perempuan. Namun, perusahaan tidak mempunyai mekanisme untuk melakukan medical check up secara rutin kepada buruh sawit perempuan. Terkadang pihak perusahaan mengalihkan pekerjaan buruh sawit perempuan ke gandeng panen/kernet (membantu buruh panen). Yang menjadi permasalahan ketika buruh sawit perempuan gandeng panen ditetapkan target basis yang sangat tinggi. Hal ini kemudian berimbas dimana buruh sawit perempuan sering tidak mendapatkan target basis, sehingga upah harian (Hk) yang mereka terima tidak utuh. Jadi sangat mustahil apabila buruh sawit perempuan bisa memperoleh bonus (premi) karena target basis yang sangat tinggi.
Berdasarkan kondisi buruh perempuan yang masih mengalami ketidakadilan gender di sektor perkebunan sawit, Link-AR Borneo menganggap penting dilaksanakannya pelatihan dan pendidikan tentang gender terhadap buruh sawit perempuan di PT CUS dan JV yang berlokasi di Ketapang dan Kayong Utara. Pelatihan ini dilaksanakan pada hari Minggu, 20 November 2022 yang bertempat di Balai Dusun Jelutung, Desa Matan Jaya Kabupaten Kayong Utara. Pelatihan ini dihadiri oleh 21 orang buruh perempuan.
Dari pelatihan ini kemudian didapatlah informasi terkait kondisi yang dihadap oleh buruh perempuan disana. Lpara buruh perempuan menyampaikan harapan mereka terhadap perbaikan kondisi kerja yang di alami. Buruh perempuan yang bekerja dibagian pemupuk mengharapkan perbaikan sebagai berikut : APD yang lengkap, Premi yang sesuai dengan hasil kerja, Ekstra Pudding untuk buruh yang bersentuhan dengan bahan kimia, Pupuk datang tepat waktu, sehingga buruh tidak perlu menunggu dalam waktu yang lama, Target kerja sesuai dengan jumlah anggota kerja. Kemudian Buruh Perempuan yang sedang mengandung mengharapkan perbaikan sebagai berikut, Pekerjaan yang ringan untuk ibu hamil, Cuti melahirkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, Check up kesehatan gratis untuk ibu hamil, Pemantauan kerja oleh mandor agar tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, Transportasi antar jemput buruh. Sedangkan buruh perempuan yang bekerja dibagian penyemprot, Kalau pagi hujan dialihkan keperjaan lain contohnya babat/tebas, Kalau siang hujan langsung pulang, APD dilengkapi sesuai dengan kebutuhan, Ekstrapudding dan susu harus ada setiap hari, Selesai target diperbolehkan pulang tidak harus menunggu jam 2 siang, Kalau kept atau tangki semprot tidak layak harus diganti yang baru, Antar jemput harus ada setiap hari, Faceprint selalu ada, Kalau lokasi kerja di perbukitan harus ada langsiran air. Itulah beberapa harapan perbaikan kondisi kerja yang diharapkan oleh buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit.